Petanttnews.com- Advokat Stefanus Roy Rening selaku Kuasa Hukum dari mantan Gubernur Papua Lukas Enembe, telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka tindak pidana merintangi penyidikan (Obstruction Of Justice), dan setelah diperiksa sebagai tersangka pada tanggal 9 Mei 2023, maka KPK melakukan penahanan terhadap Advokat Stefanus Roy Rening di Rutan Mako Puspomal.
Sebelumnya KPK telah terlebih dahulu menetapkan Mantan Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tersangka dalam tindak pidana suap dan gratifikasi serta tindak pidana pencucian uang, dimana untuk membela hak-haknya selaku tersangka itu maka Lukas Enembe telah menunjuk Advokat Stefanus Roy Rening menjadi kuasa hukumnya.
Dalam melakukan upaya-upaya pembelaan terhadap kliennya atas nama Lukas Enembe, Advokat Stefanus Roy Rening diduga kuat telah dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atas kasus yang menjerat Kliennya tersebut.
Menurut KPK, perbuatan Advokat Stefanus Roy Rening yang diduga telah dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, adalah berupa :
a. Menyusun beberapa rangkaian skenario berupa memberikan saran dan mempengaruhi beberapa pihak yang akan dipanggil sebagai saksi oleh tim penyidik agar tidak hadir memenuhi panggilan dimaksud padahal menurut hukum acara pidana kehadiran saksi merupakan kewajiban hukum.
b. Memerintahkan pada salah satu saksi agar membuat testimoni dan pernyataan yang berisi cerita tidak benar terkait kronologis peristiwa dalam perkara yang sedang dilakukan penyidikan oleh KPK dengan tujuan untuk menggalang opini publik sehingga sangkaan yang ditujukan oleh KPK terhadap Lukas Enembe dan pihak lain yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dinarasikan sebagai kekeliruan. Terlebih diduga penyusunan testimoni dilakukan di tempat ibadah agar menyakinkan dan menarik simpati masyarakat Papua yang dapat berpotensi menimbulkan konflik.
c. Menyarankan dan mempengaruhi saksi lainnya agar jangan menyerahkan uang sebagai pengembalian atas dugaan hasil korupsi yang sedang diselesaikan KPK.
KPK menilai bahwa atas saran dan pengaruh dari Advokat Stefanus Roy Rening tersebut, mengakibatkan pihak-pihak yang dipanggil secara patut dan sah menurut hukum sebagai saksi menjadi tidak hadir tanpa alasan yang jelas.
KPK juga menilai bahwa akibat tindakan-tindakan Advokat Stefanus Roy Rening dimaksud, maka proses penyidikan perkara yang dilakukan tim penyidik KPK secara langsung maupun tidak langsung menjadi terintangi dan terhambat.
Pasal yang disangkakan oleh KPK terhadap Advokat Stefanus Roy Rening adalah Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang menyatakan : “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.”
Tindak pidana merintangi penyidikan atau Obstruction Of Justice sesuai Pasal 21 UU Tipikor, memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
- Tindakan tersebut menyebabkan tertundanya proses hukum (pending judicial proceedings);
-
Pelaku mengetahui tindakannya atau menyadari perbuatannya (knowledge of pending proceedings);
-
Pelaku melakukan atau mencoba tindakan menyimpang dengan tujuan untuk mengganggu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum (acting corruptly with intent).
Advokat Stefanus Roy Rening selaku tersangka tindak pidana merintangi penyidikan pernah berargumentasi bahwa apabila benar dirinya merintangi dan menghalang-halangi serta menggagalkan penyidikan kasus yang menjerat Lukas Enembe, maka proses penyidikan kasus itu oleh KPK tidak berjalan sampai sejauh ini.
Advokat Stefanus Roy Rening menafsirkan bahwa Tindak pidana merintangi penyidikan sesuai Pasal 21 UU Tipikor adalah delik materil, dimana tindak pidana dianggap telah selesai terjadi dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang, sehingga selama proses hukum kasus Lukas Enembe tidak sepenuhnya tercegah, terintangi, atau tergagalkan secara langsung atau tidak langsung, maka dia menganggap dirinya tidak layak ditersangkakan oleh KPK.
Terhadap tafsir dan argumentasi Advokat Stefanus Roy Rening tersebut, maka patutlah kita telusuri kasus tindak pidana merintangi penyidikan yang pernah ditangani oleh KPK pada tahun 2018 yang menjerat Advokat Fredrich Yunadi, dimana dia selaku Kuasa Hukum mantan Ketua DPR-RI Setya Novanto, saat itu telah merekayasa sakitnya tersangka Setya Novanto agar tidak bisa diperiksa dalam kasus korupsi proyek e-KTP oleh penyidik KPK.
Selanjutnya Advokat Fredrich Yunadi ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka tindak pidana merintangi penyidikan, dan di persidangan Pengadilan Tipikor Jakarta, terungkap secara terang benderang keterangan ahli pidana dari Universitas Jenderal Soedirman yaitu Noor Aziz Said yang berpendapat bahwa perbuatan pidana yang diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor sudah dapat dikenakan kepada pelaku, meski upaya menghalangi penyidikan itu belum sampai selesai dilakukan.
Menurut Noor Aziz Said, tindak pidana merintangi penyidikan dapat disangkakan pada pelaku, sejak saat perbuatan itu mulai dilakukan, sehingga soal berhasil atau tidak, soal selesai atau tidak, tercapai atau tidak, itu adalah akibat, bukan unsur perbuatan pidana.
Majelis Hakim yang menyidangkan terdakwa Fredrich Yunadi pun menafsirkan Pasal 21 UU Tipikor sebagai delik formil atau delik yang tidak memerlukan adanya akibat, namun tertuju pada perbuatan menghalangi, mencegah atau merintangi proses hukum yang dilakukan penegak hukum, sehingga akhirnya pun Fredrich Yunadi dituntut hukuman 12 tahun penjara, dan sampai di tingkat Mahkamah Agung, dia divonis selama 7,5 tahun penjara.
Tindak pidana merintangi penyidikan yang menjerat Advokat Stefanus Roy Rening saat ini masih tahap penyempurnaan penyidikan oleh KPK, sedangkan Fredrich Yunadi sudah menjadi terpidana dalam kasusnya, namun pelajaran yang harus kita petik adalah agar Advokat dalam menjalankan profesinya jangan arogan berlindung di balik hak imunitas, tetapi kebablasan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan kode etik profesi.
Ketentuan pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 26/PUU-XI/ 2013 tanggal 14 Mei 2014, menyatakan bahwa : “Advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun secara pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik, untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang Pengadilan”.
Imunitas Advokat itu dibatasi oleh itikad baik, itikad baik yang bersifat objektif dalam hal ini adalah sebuah tindakan harus berpedoman pada norma kepatutan, atau pada apa yang dianggap patut dalam masyarakat, sedangkan itikad baik yang bersifat subjektif artinya berpatokan pada kejujuran dan sikap batin seorang Advokat saat melakukan tugasnya.
Oleh karena itu marilah kita semua dan khususnya organisasi Advokat agar selalu mendukung tindakan tegas KPK untuk memproses para Advokat nakal yang menjalankan profesinya terlalu kebablasan tanpa itikad baik, lalu janganlah tindakan tegas KPK dimaknai sebagai serangan terhadap profesi Advokat, sebab justru citra profesi Advokat jadi rusak oleh perilaku Advokat nakal itu.
Sumber: (MERIDIAN DEWANTA, SH – KOORDINATOR TIM PEMBELA DEMOKRASI INDONESIA WILAYAH NTT / TPDI-NTT / ADVOKAT PERADI).***