Penulis : Maria Griselda Delwela Papur. Mahasiswa Program Studi Ekonomi Universitas Sanata Dharma
Petanttnews.com||Opini: Labuan Bajo, yang terletak di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, telah mengalami perkembangan pariwisata yang signifikan sejak awal 1980-an. Awalnya, kawasan ini hanya dikenal sebagai pelabuhan kecil yang berfungsi sebagai titik transit bagi pelayaran antar pulau. Namun, kehadiran Taman Nasional Komodo dengan spesies ikoniknya, komodo (Varanus komodoensis), mulai menarik perhatian wisatawan. Pada tahun 1990-an, pemerintah menyadari potensi Labuan Bajo dan mulai mengembangkan infrastruktur, termasuk jalan dan akomodasi, untuk mendukung pertumbuhan pariwisata. Memasuki awal 2000-an, Labuan Bajo berkembang pesat menjadi destinasi wisata unggulan dengan munculnya hotel-hotel mewah dan restoran.
Meskipun pertumbuhan ini membawa banyak keuntungan ekonomi, tantangan besar tetap ada, terutama dalam hal ketimpangan sosial dan ekonomi. Banyak masyarakat lokal masih terjebak dalam kemiskinan dan tidak memiliki akses yang memadai terhadap pendidikan dan infrastruktur dasar. Saat ini, ada kesadaran yang meningkat akan perlunya pariwisata berkelanjutan yang tidak hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi juga memberikan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, sehingga Labuan Bajo dapat menjadi model pariwisata yang inklusif dan berkelanjutan.
Keindahan Labuan Bajo dan Paradoks Kemiskinan
Labuan Bajo, dengan keindahan alamnya yang memukau dan keanekaragaman hayati laut seperti terumbu karang dan mamalia laut lainnya. selain itu, terdapat juga keanekaragraman hanyati darat yakni Varanus komodoensis atau Komodo, yang merupakan spesies kadal terbesar di dunia. Komodo hanya dapat ditemukan di Pulau Komodo dan Rinca. Dengan komodonya yang ikonik, menjadi magnet bagi para wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Namun, di balik keindahan alam yang memukau ini, tersimpan sebuah paradoks yang menggelitik pikiran: mengapa kemiskinan masih menjadi masalah yang serius di wilayah ini?
Pertumbuhan Pariwisata dan Realitas Masyarakat Lokal
Di satu sisi, kita menyaksikan pertumbuhan pesat sektor pariwisata yang membawa berkah ekonomi bagi sejumlah pihak. Hotel-hotel mewah bermunculan, restoran kelas atas menjamur, dan berbagai fasilitas wisata modern terus dikembangkan. Namun, di sisi lain, kita juga menemukan kenyataan pahit tentang kehidupan masyarakat lokal yang masih bergumul dengan kemiskinan. Banyak di antara mereka yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, seperti Akses terhadap Air Bersih. 60% masyarakat di desa-desa terpencil masih bergantung pada sumur tradisional dan Hanya 40% rumah tangga yang memiliki akses ke PDAM. Harga air tangki mencapai Rp 300.000 per 500 liter. Kualitas air sumur di beberapa wilayah tercemar dan memiliki kadar garam tinggi. kedua, Akses Listrik, dimana 30% desa masih belum teraliri listrik 24 jam, Pemadaman listrik yang sering terjadi. rata-rata 4-6 jam per pemadaman. 25% rumah tangga masih menggunakan generator diesel pribadi. Biaya listrik generator bisa mencapai Rp 500.000 per bulan. ketiga, Akses Pendidikan. Rasio guru-murid 1:35 (di atas standar nasional 1:20), hampir 40% sekolah memerlukan perbaikan infrastruktur dengan Jarak ke SMP/SMA terdekat bisa mencapai 10-15 km. Angka putus sekolah mencapai 13,32% dan 30% guru adalah guru honorer dengan gaji di bawah UMR.

Tingkat Kemiskinan dan pertanyaan Mendasar
Di balik keindahan alam yang eksotik, tingkat kemiskinan di wilayah ini masih tergolong tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik, pada tahun 2023 tingkat kemiskinan di Labuan Bajo 16,82% kemudian menurun pada tahun 2024 menjadi 16,74%. meskipun demikian, Pertanyaan mendasar yang muncul adalah mengapa di tengah pesatnya sektor pariwisata, sebagian besar masyarakat Labuan Bajo masih hidup dalam kondisi yang kurang layak? Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan ketimpangan sosial ekonomi yang begitu mencolok? Bagaimana distribusi manfaat dari sektor pariwisata yang begitu besar hanya dinikmati oleh segelintir kelompok? Bagaimana regulasi pemerintah dapat mempengaruhi kemiskinan dan ketimpangan di Labuan Bajo? Dan upaya apa saja yang telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini, serta apa kendala yang dihadapi?
Faktor Penyebab Ketimpangan Sosial Ekonomi
Teori Ketergantungan (Dependency Theory) menawarkan perspektif kritis tentang ketimpangan distribusi pendapatan dalam sektor pariwisata. Teori ini menjelaskan bagaimana struktur ekonomi yang tidak seimbang menciptakan hubungan ketergantungan antara kelompok dominan (core) seperti investor asing dan pengusaha besar, dengan kelompok marginal (periphery) yaitu masyarakat lokal. Dalam konteks pariwisata, teori ini menunjukkan bagaimana surplus ekonomi yang dihasilkan dari aktivitas pariwisata cenderung terkonsentrasi pada segelintir elit ekonomi, sementara masyarakat lokal tetap berada dalam posisi subordinat. Kondisi ini menciptakan siklus ketergantungan yang sulit diputus karena kelompok dominan memiliki kendali atas modal, teknologi, dan akses pasar, sementara masyarakat lokal kesulitan untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam rantai nilai pariwisata.
Ada beberapa faktor kompleks yang menyebabkan fenomena ini. Pertama, distribusi pendapatan dari sektor pariwisata tidak merata. Pendapatan besar seringkali dinikmati oleh pengusaha besar, investor asing, dan pekerja sektor formal di industri pariwisata, sementara masyarakat lokal, khususnya yang bekerja di sektor informal, hanya mendapatkan sebagian kecil. Kedua, pertumbuhan pariwisata yang cepat tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Banyak masyarakat lokal yang kurang memiliki pendidikan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di sektor pariwisata. Ketiga, infrastruktur yang tidak merata juga menjadi kendala. Akses masyarakat terhadap fasilitas dasar seperti air bersih, listrik, dan jalan yang layak masih terbatas, terutama di daerah-daerah terpencil. Terakhir, lemahnya tata kelola pemerintahan juga berperan. Korupsi, nepotisme, dan kurangnya perencanaan yang matang dalam mengelola sektor pariwisata menyebabkan sebagian besar manfaat dari sektor ini tidak dinikmati oleh masyarakat luas.
Keterkaitan antara Ekonomi Pariwisata dan Kemiskinan
Meskipun perkembangan industri pariwisata ini telah menciptakan banyak lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan daerah, kemiskinan masih merajalela di kalangan masyarakat lokal. Keterkaitan antara ekonomi pariwisata dan ketimpangan sosial-ekonomi di Labuan Bajo sangat kompleks. Pertama, meskipun pariwisata memberikan peluang kerja, tidak semua penduduk lokal memiliki akses ke pekerjaan tersebut. Banyak yang terpinggirkan karena kurangnya keterampilan atau pendidikan yang memadai, sehingga mereka tetap terjebak dalam kemiskinan. Selain itu, inflasi yang dipicu oleh meningkatnya permintaan dari wisatawan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa, yang semakin membebani penduduk lokal yang bergantung pada pendapatan tetap. Pembangunan infrastruktur yang didorong oleh pariwisata juga seringkali tidak merata, lebih menguntungkan kawasan wisata daripada masyarakat sekitar. Oleh karena itu, penting untuk memberdayakan masyarakat lokal melalui program pelatihan dan pendidikan agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam industri ini. Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan, diharapkan manfaat dari sektor pariwisata dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, sehingga kemiskinan di Labuan Bajo dapat diatasi secara efektif.
Langkah Konkrit untuk mengatasi Ketimpangan
Dalam konteks Labuan Bajo, meskipun sektor pariwisata telah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi tetap menjadi tantangan yang harus dihadapi. Distribusi manfaat dari pariwisata yang tidak merata, kurangnya akses terhadap pendidikan dan keterampilan, serta infrastruktur yang belum memadai menjadi faktor utama yang menghambat masyarakat lokal untuk mendapatkan manfaat dari perkembangan ini. Selain itu, tata kelola pemerintahan yang lemah juga memperburuk kondisi, mengakibatkan banyak masyarakat tidak merasakan dampak positif dari pertumbuhan ekonomi di daerah mereka. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah konkret. Pertama, pemerintah dan pemangku kepentingan harus meningkatkan program pelatihan dan pendidikan bagi masyarakat lokal agar mereka dapat berkompetisi di sektor pariwisata. Kedua, distribusi pendapatan dari pariwisata perlu diatur dengan lebih baik, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir kelompok. Ketiga, investasi dalam infrastruktur dasar sangat penting untuk memastikan akses yang setara bagi seluruh masyarakat, terutama di daerah terpencil. Terakhir, penguatan tata kelola pemerintahan, dengan mengurangi praktik korupsi dan nepotisme, akan sangat membantu dalam menciptakan lingkungan yang lebih adil dan transparan. Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan, diharapkan Labuan Bajo dapat mengurangi ketimpangan sosial dan meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya secara keseluruhan.
Kesimpulan
Labuan Bajo, yang terkenal dengan keindahan alamnya dan Taman Nasional Komodo, telah mengalami transformasi signifikan dari pelabuhan kecil menjadi destinasi wisata unggulan sejak tahun 1980-an. Namun, di balik pesatnya pertumbuhan sektor pariwisata, masih terdapat paradoks yang mencengangkan dimana tingkat kemiskinan masih mencapai 16,74% pada tahun 2024. Ketimpangan ini tercermin dari berbagai aspek kehidupan masyarakat lokal, dimana hanya 40% rumah tangga yang memiliki akses ke PDAM, 30% desa masih belum teraliri listrik 24 jam, dan masih tingginya angka putus sekolah yang mencapai 13,32%. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap ketimpangan ini meliputi distribusi pendapatan yang tidak merata dari sektor pariwisata, rendahnya kualitas sumber daya manusia, infrastruktur yang tidak memadai, serta lemahnya tata kelola pemerintahan. Teori Ketergantungan menjelaskan bagaimana struktur ekonomi yang tidak seimbang menciptakan hubungan ketergantungan antara kelompok dominan (investor asing dan pengusaha besar) dengan masyarakat lokal yang terpinggirkan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan melalui peningkatan program pelatihan dan pendidikan, perbaikan distribusi pendapatan, investasi infrastruktur yang merata, serta penguatan tata kelola pemerintahan untuk menciptakan pariwisata yang lebih berkeadilan di Labuan Bajo.