Petanttnews.com– Pemerintah Desa Watu Mori, Kecamatan Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur, diduga melakukan pungutan ilegal terhadap PT Menara Armada Pratama, meski perusahaan tambang itu sudah menghentikan seluruh kegiatan operasional selama lebih dari satu tahun terakhir.
Kepala Desa Watu Mori, Marianus Pantur, tetap menagih kontribusi tahunan sebesar Rp15 juta dengan dalih kerja sama pemanfaatan jalan desa.
Permintaan dana ini menimbulkan tanda tanya besar. Pasalnya, kontribusi tetap ditagih meskipun perusahaan tidak lagi menjalankan aktivitas tambang. Perusahaan sempat membawa dana sebesar Rp5 juta, menyesuaikan dengan kondisi di lapangan, namun pihak desa menolak dan bersikeras menagih jumlah penuh sebagaimana yang tercantum dalam kesepakatan awal.
“Tahun ini mereka sempat membawa Rp5 juta karena memang tidak ada pekerjaan; tetapi desa menolak. Mereka tetap minta Rp15 juta,” ujar seorang sumber kepada wartawan, Selasa (17/6/2025).

Pungutan ini mulai diberlakukan sejak Marianus Pantur menjabat sebagai kepala desa menggantikan Krishna Wahdi. Menurut sumber tersebut, sebelumnya tidak pernah ada kewajiban bagi perusahaan untuk menyetor dana ke desa.
Justru masyarakat sekitar tambang yang diminta berkontribusi, masing-masing sebesar Rp1 juta per kepala keluarga per tahun, untuk mengatasi dampak debu dan kerusakan jalan.
“Dulu tidak ada pungutan seperti itu dari desa ke perusahaan. Perusahaan malah bantu warga langsung, seperti menyiram jalan saat kemarau dengan mobil tangki,” ungkapnya.
Perubahan arah kontribusi ini terjadi setelah terbit dokumen kerja sama antara desa dan perusahaan. Melalui dokumen tersebut, desa menetapkan kontribusi tetap Rp15 juta per tahun yang disalurkan langsung ke pemerintah desa, tanpa memperhitungkan apakah kegiatan pertambangan berlangsung atau tidak.
Kepala Desa Watu Mori, Marianus Pantur, membenarkan permintaan kontribusi tersebut saat dikonfirmasi pada Rabu (18/6/2025). Ia menolak disebut melakukan pungutan liar dan menyebut bahwa dana tersebut masuk ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
“Itu bukan pungli; dana itu masuk APBDes. Kami punya dokumen kerja sama dengan PT-nya. Kontribusi itu hasil musyawarah bersama,” tegasnya.
Namun, saat diminta menjelaskan dasar hukum yang mengatur pungutan tersebut, Marianus tidak menyebutkan satu pun regulasi nasional. Ia hanya mengandalkan argumen musyawarah dan menyarankan wartawan untuk bertanya kepada pihak lain.
“Dasarnya musyawarah. Soal regulasi, tanya ke Ibu Novi; dulu dia yang buat aturannya,” jawabnya, tanpa merinci kapasitas hukum yang dimaksud.
Ia juga mengklaim bahwa pungutan tersebut diatur dalam Peraturan Desa (Perdes) Watu Mori Nomor 6 Tahun 2023, serta dua dokumen perjanjian turunan mengenai pemanfaatan potensi dan jalan desa. Namun saat diminta menyerahkan salinan dokumen-dokumen itu, ia menolak.
“Saya tidak bisa kasih itu file. Neka rabo, bos (mohon maaf, bos),” tulisnya melalui pesan WhatsApp, Kamis (19/6/2025).
Penolakan tersebut menimbulkan pertanyaan serius mengenai transparansi. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa dokumen kerja sama itu ditandatangani oleh Apolonaris Darman, seorang mantan pegawai PT Menara Armada Pratama yang sudah tidak bekerja di sana.
Hal ini memunculkan dugaan bahwa dokumen tersebut cacat hukum karena tidak mewakili otoritas sah dari perusahaan.
Dari sisi regulasi, pungutan semacam ini patut dipertanyakan. Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menegaskan bahwa pungutan atas fasilitas umum hanya dapat diberlakukan oleh pemerintah kabupaten/kota melalui Peraturan Daerah.
Permendagri tentang Penataan Desa pun tidak memberikan kewenangan kepada desa untuk memungut retribusi, kecuali melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) atau jalur resmi yang diatur dalam hukum lebih tinggi.
Selain itu, Undang-Undang tentang Desa menyatakan bahwa setiap pungutan harus diatur melalui Perdes yang sah, telah disosialisasikan secara terbuka, serta tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Jika terbukti dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas, dan dalam situasi di mana perusahaan tidak lagi beroperasi, tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai pungutan liar.
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya pasal yang menyasar penyelenggara negara yang menyalahgunakan jabatan atau melakukan pemerasan. PermenPAN-RB tentang saber pungli juga menyebut bahwa setiap pungutan tanpa dasar hukum sah termasuk pungli.
Kasus ini menunjukkan pentingnya pengawasan terhadap praktik keuangan dan pengambilan keputusan di tingkat desa. Dalam sistem hukum yang sehat, musyawarah tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan peraturan perundang-undangan. Ketertutupan dan lemahnya akuntabilitas seperti yang ditunjukkan dalam kasus ini tidak hanya melanggar etika, tetapi juga membuka ruang bagi praktik korupsi di akar rumput.***