DAERAH  

Keberadaan PLTP Ulumbu Tak Menghalangi Akses Air Minum Bersih Warga

Wewo
Foto: Lokasi PLTP Ulumbu, Flores, Satarmese, Manggarai, NTT. Aristo/Petanttnews

Petanttnews.com- Ketika banyak proyek energi skala besar memantik protes karena dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat adat, Kampung Wewo di Kecamatan Satar Mese, Flores Manggarai, Nusa Tenggara Timur, justru memperlihatkan potret yang berbeda.

Di desa ini, energi panas bumi tak menjadi ancaman, melainkan justru berjalan berdampingan dengan kehidupan sehari-hari warganya, bahkan ikut menopang keberlanjutan alam dan ekonomi lokal.

Wewo adalah bukti nyata bahwa transisi menuju energi terbarukan tidak harus datang dengan pengorbanan.

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu yang beroperasi di kawasan ini terbukti tidak merusak akses air bersih, tidak menurunkan kesuburan tanah, dan tidak mengganggu ruang hidup masyarakat.

“Sampai detik ini, belum ada cerita kekurangan air bersih di Desa Wewo,” kata kepala desa kepada wartawan dalam kegiatan Site Visit pengembangan PLTP Ulumbu (2×20 MW) PT PLN (Persero) dan Media Kabupaten Manggarai, Rabu, 18 Juni 2025.

Pernyataan ini bukan sekadar angin lalu. Pengelolaan air bersih di Wewo dilakukan oleh PDAM Tirta Komodo Ruteng, dan hanya dua RT yang masih menggunakan sumber air swadaya.

“Sumber mata air kita dikelola oleh PDAM Tirta komodo, dua RT masih menggunakan Air Swadaya dana desa,” kata kades Wewo.

Bahkan lebih dari itu, air dari Wewo juga disalurkan ke desa-desa sekitar seperti Ponggeok, Paka, Legu, dan Tal. ” Air dari desa Wewo dipergunakan oleh desa tetangga kita”, imbuhnya.

Ini membuktikan bahwa debit air tetap stabil meskipun berada dekat dengan kawasan industri panas bumi.

Wewo tak hanya mempertahankan akses air, tetapi juga kesuburan tanahnya. Hal ini diakui oleh anggota DPRD Kabupaten Manggarai Yon Bo’a, yang menyebut bahwa tanah Wewo tetap mendukung sektor pertanian.

“Soal sektor pertanian ase, Justru Wewo tanah yang subur”, jelasnya via telepon WhatsApp,  Kamis, 19 Juni 2025.

Fakta lapangan menunjukkan hal serupa. Tanaman cengkeh dan kemiri tumbuh subur di sekitar PLTP Ulumbu. Bahkan, ada peternakan babi yang berhasil dikembangkan hanya berjarak 15 meter dari instalasi pembangkit listrik.

Ini jelas menunjukkan bahwa suhu, kelembaban, dan kualitas tanah di sekitar proyek masih sangat mendukung produktivitas pertanian dan peternakan.

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, ini merupakan indikator penting bahwa aktivitas PLTP tidak menimbulkan degradasi ekologis yang biasanya dikhawatirkan masyarakat di wilayah lain.

Keberhasilan PLTP Ulumbu dalam membangun relasi harmonis dengan masyarakat lokal tidak terjadi begitu saja. Ini hasil dari proses komunikasi, transparansi, dan keterlibatan warga dalam menjaga sumber daya alam mereka.

Masyarakat Wewo tidak diposisikan sebagai objek, melainkan sebagai mitra dalam pembangunan. Ini adalah model transisi energi yang manusiawi dan adil.

Tak hanya itu, pihak pengelola, PT PLN (Persero), juga menunjukkan tanggung jawab sosial melalui komitmen terhadap pengelolaan limbah dan dampak lingkungan.

Dengan prinsip kehati-hatian dan pengawasan berkala, PLN memastikan bahwa pembangunan energi tidak menjadi musuh lingkungan, melainkan bagian dari solusinya.

Meski demikian, dalam kegiatan Site Visit media dan PLN mencatat bahwa akses jalan menuju Kampung Wewo masih dalam kondisi rusak.

Hal ini langsung mendapat perhatian dari pihak PLN. Roya Ginting, Kepala Teknis Panas Bumi (KTPB) PLTP Ulumbu, menegaskan bahwa pembangunan jalan kini menjadi prioritas.

“Selain digunakan untuk mobilisasi proyek, pembangunan infrastruktur jalan ini sangat penting untuk mendukung kelancaran dan akomodasi lalu lintas masyarakat setempat,” ujar Roya.

Langkah ini memperkuat posisi PLN bukan hanya sebagai penghasil energi, tetapi juga sebagai agen pembangunan yang memperhatikan kebutuhan dasar masyarakat.

Kisah Wewo dan PLTP Ulumbu adalah contoh konkret bahwa energi terbarukan bisa hadir tanpa menyingkirkan masyarakat, tanpa merusak ekologi, dan tanpa mengorbankan budaya lokal.

Bahkan, jika dikelola dengan baik, proyek seperti ini bisa membuka peluang baru bagi ekonomi desa, pertanian, peternakan, dan infrastruktur.

Kini, tantangan yang lebih besar adalah menggandakan kisah sukses ini di wilayah lain, termasuk Poco Leok, di mana proyek perluasan PLTP masih menimbulkan ketegangan.

Jika pendekatan Wewo yang partisipatif dan berorientasi pada warga diadopsi, bukan tak mungkin akan terbangun kembali harmoni antara teknologi, masyarakat, dan alam.

Sebab pada akhirnya, transisi energi bukan sekadar mematikan satu jenis listrik dan menyalakan yang lain. Ini adalah soal cara kita membangun masa depan tanpa meninggalkan siapa pun di belakang.

Dan Wewo telah membuktikan bahwa masa depan itu bisa dimulai sekarang, dari desa kecil di kaki gunung Flores.***