Surat Edaran PBB-P2 Hanya Imbauan, Pemkab Manggarai Jamin Anak Tetap sekolah

Wens sedan
Kadis PPO Kabupaten Manggarai, Memantau Proses Pelaksanaan Ujian Sekolah di SMPN 8 Satarmese. Foto: Aristo

Petanttnews.com-Ruteng, Polemik seputar surat edaran terkait pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang dikaitkan dengan proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Manggarai, kini dijawab secara tegas oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai melalui Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga (PPO).

Dalam klarifikasinya, pemerintah menekankan bahwa surat edaran tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat sebagai syarat mutlak masuk sekolah.

Kepala Dinas PPO, Wens Sedan, menyampaikan bahwa substansi utama surat edaran itu adalah edukasi. Bukan alat untuk menekan, membatasi, apalagi menghalangi hak anak-anak dalam mendapatkan layanan pendidikan.

Surat itu, menurut Wens, hanya dimaksudkan untuk mengingatkan orang tua tentang kewajibannya sebagai warga negara yang baik, salah satunya adalah dengan membayar pajak daerah.

“Sebetulnya esensi surat edaran itu tidak untuk menghalangi hak anak sekolah. Surat ini hanya mengingatkan orang tua agar tetap menjalankan kewajiban membayar pajak,” ujarnya saat dikonfirmasi, Jumat (28/6/2025).

Wens menjelaskan lebih lanjut bahwa surat itu bersifat internal. Artinya, hanya menjadi pedoman teknis bagi kepala sekolah dalam mendata orang tua yang telah atau belum menyelesaikan kewajiban perpajakan mereka.

Hal ini juga merupakan bagian dari strategi pemerintah dalam membangun sinergi lintas sektor, terutama dalam mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

“Surat edaran ini juga menjadi informasi bagi kepala sekolah bahwa ada beberapa orang tua yang belum sempat melunasi PBB-nya. Namun, penerimaan siswa baru tetap berjalan aman dan lancar,” katanya.

Hingga kini, tidak ditemukan laporan dari sekolah maupun masyarakat tentang adanya siswa yang ditolak karena belum melunasi PBB. Justru sebaliknya, proses PPDB berjalan normal tanpa hambatan.

“Ini lebih pada edukasi bagi masyarakat tentang pentingnya menjalankan kewajiban sebagai warga negara. Tidak ada larangan anak sekolah hanya karena pajak belum lunas,” tegas Wens.

Kebijakan ini sejatinya membuka ruang transparansi. Data yang terkumpul dari proses PPDB akan dimanfaatkan untuk memetakan tingkat kepatuhan wajib pajak di Manggarai.

Bagi yang sudah membayar, cukup melampirkan bukti. Bagi yang belum, tidak diwajibkan. Dengan begitu, tidak ada tekanan, tetapi tetap ada upaya pencatatan yang bermanfaat untuk perencanaan ke depan.

Melalui pendekatan ini, pemerintah ingin menanamkan kesadaran kolektif bahwa membayar pajak bukan hanya kewajiban hukum, melainkan bagian dari tanggung jawab sosial yang berujung pada manfaat bersama.

“Kita terlalu dini menyimpulkan bahwa himbauan ini menghalangi anak untuk memperoleh pendidikan. Tetapi ini murni bagian dari upaya kerja kolaboratif OPD untuk mengingatkan kita semua taat terhadap meningkatkan PAD,” tambahnya.

Lebih jauh, Wens menekankan bahwa pelunasan PBB tidak menjadi syarat mutlak diterimanya anak di sekolah. Setiap anak tetap berhak mendapatkan pendidikan, tanpa diskriminasi berbasis kondisi ekonomi keluarganya.

“Itu bukan syarat tapi bagaimna mengingatkan pentingan menaati ketaatan pajak,” pungkasnya.

Ia juga menilai bahwa orang tua yang telah membayar pajak memberi contoh positif kepada masyarakat luas. Pajak yang dibayarkan, menurutnya, memiliki dampak langsung terhadap PAD, yang nantinya dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk pelayanan publik, seperti fasilitas pendidikan, infrastruktur, dan layanan sosial lainnya.

“Pajak itu berdampak pada PAD. Dan hasilnya akan kembali ke masyarakat melalui pembangunan fasilitas,” tambahnya.

Menanggapi kritik dan respons publik, Wens juga menunjukkan sikap terbuka. Ia menyambut baik masukan masyarakat sebagai bagian dari proses demokratis dalam tata kelola pemerintahan.

“Kita tidak berjalan sendiri, kritikan masyarakat bagian upaya peduli dunia pendidikan kita”, ujarnya mengakhiri.

Klarifikasi ini sekaligus menjadi penegas bahwa surat edaran soal PBB-P2 tidak lahir dari niat membatasi hak anak, melainkan sebagai cara kreatif dan kolaboratif pemerintah dalam membangun kesadaran fiskal yang inklusif dan tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan sosial.***